Hi, there.
How's life? It's been one hell of a ride, isn't it?
A dear friend of mine once said, tidak ada yang namanya hari baik dan buruk. Everything's a state of mind. Semua hal tergantung bagaimana kita melihatnya.
Today is just one of those days.
Saya sudah berhenti menonton berita di tipi entah sejak kapan, tapi kita memang tidak bisa selamanya lari dari kenyataan hidup. Tidak bisa selamanya bersembunyi di antara rutinitas harian dan berdiam diri dalam riuhnya lalu lintas informasi. Yep. Saya bisa mematikan kompi dan tv. Tapi tidak mengubah hal-hal yang terjadi di luar. Dan sebaliknya, ketika saya membaca hal-hal yang terjadi hari ini dan menulis saat ini, hal-hal itu juga tidak berubah. Things happen, whether we want it or not.
Dan itu terjadi, terus-menerus. Berulang-ulang. Sampai kita mati rasa.
Fakta bahwa yang namanya kekerasan setua makhluk bernama manusia ini juga tidak menolong. Kekerasan ada sejak manusia ada. Bagi yang percaya kitab-kitab suci, ada Habil dan Qabil, Abel dan Cain. Bagi penyuka sejarah...tak terhitung statistiknya. Bagi saya pribadi, seorang teman sekolah yang menyatakan tidak apa-apa membunuh atas nama tuhan. Tuhan siapa? Entahlah...
Rumah ibadah yang ditutup selalu bukan milik 'kaum' kita. Mereka yang ditakut-takuti dan dihina selalu 'berbeda', mereka bukan 'kita'.
Bom yang terjadi di luar sana selalu mengenai orang lain. Bukan kita. Bukan anak-anak kita. Bukan orangtua kita. Dan kita berani dengan sombongnya bicara, menyakiti orang lain itu tidak apa-apa, 'for a greater good', 'for heavenly cause'?
Selama bukan kita. Begitu? Dan akan selalu ada yang bisa disalahkan. Fingers of blame always pointed outward and never inward.
Kapan giliran kita?
Apa yang didengar dan dilihat anak-anak setiap hari? Apa yang ditanamkan dan dicontohkan?
Dogma. Pengkotak-kotakkan. Labelisasi. Generalisasi.
Sejarah selalu berulang. Dan akan selalu berulang.
Should we stop humanity, destroy the human beings, to stop violence?
Saya mengenal seorang Vik, Vittorio Arrigoni, lewat blognya Guerilla Radio sekitar tahun 2008. Saat itu saya masih rajin menulis tentang Palestina di blog saya. Saya telah berhenti menulis, tulisan terakhir saya di blog itu adalah juni tahun lalu. Vik, yang selalu mengakhiri tulisannya dengan "Restiamo Umani" atau "Stay Human" masih terus menulis dari Gaza. Vik sendiri berasal dari Italia dan bergabung dalam ISM (International Solidarity Movement) Palestina, sebuah lembaga yang juga didirikan oleh Huwaida Arraf, seorang Palestina-Amerika beragama Kristen. Selama di Gaza, Vik seriing menemani petani dan nelayan Gaza dalam melakukan pekerjaan mereka. Di lengan kanannya, sebuah tato bertuliskan "Resistance" dalam bahasa arab. Senin besok ia seharusnya pulang ke Italia untuk menjenguk ayahnya yang sakit.
Vik, 36 tahun, diculik Kamis lalu, dan ditemukan tewas Jumat pagi tadi. Informasi sementara, penculiknya adalah kelompok Salafi, yang menganggap Hamas terlalu moderat.
Based on histories, it could be just life as we know it. The senseless violence.
Makes us wonder, why God creates us on the first place...
Dan saya diingatkan lagi oleh dua kata itu.
Restiamo Umani.
Rest in peace and love, dear brotha. May god bless you, insya Allah.
For the rest of us, stay human.
"A man does what he has to do, whatever the personal consequences, whatever the obstacles, the dangers or the pressure. This is the basis of all human morality". (Giovanni Falcone)
G'nite, good people. May peace be upon you.