Friday, September 25, 2009

Aku Tidak Tahu

MONO
oleh Gunawan Muhammad

Pada suatu hari di abad ke-7, dua orang Madinah bertengkar. Yang satu Muslim dan yang satu lagi Yahudi. Yang pertama mengunggulkan Muhammad SAW ”atas sekalian alam”. Yang kedua mengunggulkan Musa. Tak sabar, orang Muslim itu menjotos muka Si Yahudi.

Orang Yahudi itu pun datang mengadu ke Nabi Muhammad, yang memimpin kehidupan kota itu. Ia ceritakan apa yang terjadi. Maka Rasulullah pun memanggil Si Muslim dan berkata:

”Janganlah kau unggulkan aku atas Musa. Sebab di hari kiamat semua umat jatuh pingsan, dan aku pun jatuh pingsan bersama mereka. Dan akulah yang pertama bangkit dan sadar, tiba-tiba aku lihat Musa sudah berdiri di sisi Singgasana. Aku tidak tahu, apakah ia tadinya juga jatuh pingsan lalu bangkit sadar sebelumku, ataukah dia adalah orang yang dikecualikan Allah”.

Riwayat ini dikutip dari Shahih Muslim, Bab Min Fadla’il Musa. Dalam buku Abd. Moqsith Ghazali yang terbit pekan lalu, Argumen Pluralisme Agama, hadis itu dituturkan kembali sebagai salah satu contoh pandangan Islam tentang agama yang bukan Islam, khususnya Yahudi dan Kristen.

Pada intinya, Moqsith, sosok tenang dan alim yang mengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini, datang dengan pendirian yang kukuh: Islam adalah ”sambungan—bukan musuh—dari agama para nabi sebelumnya”, yang sering disebut sebagai agama-agama Ibrahimi.

Tapi yang bagi saya menarik adalah kata-kata Muhammad SAW yang dikutip di sana: ”Janganlah kau unggulkan aku atas Musa”, dan, ”aku tidak tahu…”.

Kini kata-kata itu tenggelam. Kini sebagian ulama merasa di atas Rasulullah: mereka merasa tahu keunggulan diri mereka. Mereka akan membenarkan Si Muslim yang memukul Si Yahudi. Mereka bahkan mendukung aniaya terhadap orang yang ”menyimpang”, walaupun orang lain itu, misalnya umat Ahmadiyah, membaca syahadat Islam.

Dari mana datangnya kekerasan itu?

Saya sering bingung. Satu kalimat suci terkadang bisa membuat orang jadi lembut, tapi satu kalimat lain dari sumber yang sama bisa menghalalkan pembunuhan.

Mungkin pada mulanya bukanlah agama. Agama, seperti banyak hal lain, terbangun dalam ambiguitas. Dengan perut dan tangan, ambiguitas itu diselesaikan. Tafsir pun lahir, dan kitab-kitab suci berubah peran, ketika manusia mengubah kehidupannya. Yang suci diputuskan dari bumi. Pada mulanya bukanlah Sabda, melainkan Laku.

Tapi juga benar, Sabda punya kesaktiannya sendiri setelah jadi suci; ia bisa jadi awal sebuah laku. Kekerasan tak meledak di sembarang kaum yang sedang mengubah sejarah. Ia lebih sering terjadi dalam sejarah Yahudi, Kristen, dan Islam: sejarah kepercayaan yang berpegang pada Sabda yang tertulis. Pada gilirannya kata-kata yang direkam beku dalam aksara itu menghendaki kesatuan tafsir.

Kesatuan: jangan-jangan mala itu datang dari angka ”satu”—dan kita harus bebas dari the logic of the One.

Kata ini dipakai Laurel C. Schneider dalam Beyond Monotheism. Pakar theologi itu menuding: ”Oneness, as a basic claim about God, simply does not make sense.” Dunia sesungguhnya melampaui ke-satu-an dan totalitas.

Schneider menganjurkan iman berangkat ke dalam ”multiplisitas”—yang tak sama artinya dengan ”banyak”. Kata itu, menurut dia, mencoba menamai cara melihat yang luwes, mampu menerima yang tak terduga tak berhingga.

Tapi Schneider, teguh dalam tradisi Ibrahimi, menegaskan ”multiplisitas” itu tak melenyapkan yang Tunggal. Yang Satu tak hilang dalam multiplisitas, hanya ambyar sebagaimana bintang jatuh tapi sebenarnya bukan jatuh melainkan berubah dalam perjalanan benda-benda planeter.

Dengan kata lain, tetap ada ke-tunggal-an yang membayangi tafsir kita. Bagaimana kalau terbit intoleransi monotheisme kembali?

Saya ingat satu bagian dalam novel Ayu Utami, Bilangan Fu. Ada sebuah catatan pendek dari tokoh Parang Jati yang bertanya: ”Kenapa monotheisme begitu tidak tahan pada perbedaan?” Dengan kata lain, ”anti-liyan”?

Pertanyaan itu dijawab di catatan itu juga: sikap ”anti-liyan” itu berpangkal pada ”bilangan yang dijadikan metafora bagi inti falsafah masing-masing”. Monotheisme menekankan bilangan ”satu”. Agama lain di Asia bertolak dari ke­tiadaan, kekosongan, sunyi, shunyat, shunya, sekaligus keutuhan. ”Konsep ini ada pada bilangan nol,” kata Parang Jati.

Bagi Parang Jati, agama Yahudi, pemula tradisi monotheisme, tak mampu menafsirkan Tuhan sebagai Ia yang terungkap dalam shunya, sebab monotheisme ”dirumuskan sebelum bilangan nol dirumuskan”.

Ada kesan Parang Jati merindukan kembali angka nol, namun ia tak begitu jelas menunjukkan, di mana dan bila kesalahan dimulai. Ia mengatakan, setelah bilangan nol ditemukan, manusia pun kehilangan kualitas yang ”puitis”, ”metaforis” dan ”spiritual” dalam menafsirkan firman Tuhan. ”Ketika nol belum ditemukan,” tulis Parang Jati, ”sesungguhnya bilangan tidaklah hanya matematis.”

Dengan kata lain, mala terjadi bukan karena angka satu, melainkan karena ditemukannya nol. Tapi Parang Jati juga menunjukkan, persoalan timbul bukan karena penemuan nol, melainkan ketika dan karena ”shunya menjadi bilangan nol”.

Salahkah berpikir tentang Tuhan sebagai nol? Salahkah dengan memakai ”the logic of the One”?

Di sebuah pertemuan di Surabaya beberapa bulan yang lalu saya dapat jawab yang mencerahkan. Tokoh Buddhisme Indonesia, Badhe Dammasubho, menunjukkan bahwa kata ”esa” dalam asas ”Ketuhanan yang Maha Esa” bukan sama dengan ”eka” yang berarti ”satu”. Esa berasal dari bahasa Pali, bahasa yang dipakai kitab-kitab Buddhisme. Artinya sama dengan ”nirbana”.

Setahu saya, ”nirbana” berarti ”tiada”. Bagi Tuhan, ada atau tak ada bukanlah persoalannya. Ia melampaui ”ada”, tak harus ”ada”, dan kita, mengikuti kata-kata Rasulullah, ”aku tidak tahu”.


~Majalah Tempo Edisi 02 Maret 2009~

Agama seharusnya menjadi sumber kedamaian di muka bumi. Kita, si manusia lah, yang menciptakan siklus kebencian.

Thursday, September 24, 2009

Links of the Day

What do you think?
From bendib. Thanks Fatemah for the link.



Hate Thy Neighbour
Thanks for the interesting post, MERC. Liam Bartlett from Channel 9 on 60 minutes blog,
Trying to understand the Middle East peace process is a bit like attempting to unscramble an egg so we travelled to Israel to get a first-hand look at just how hard it might be to even begin a so-called 'road map to peace'.
t might be to even begin a so-called 'road map to peace'.

At the very heart of the problem are the Jewish settlers, now occupying large tracts of land that the Palestinians say are really theirs. The settlers are essentially squatting on whatever piece they choose and constructing houses and towns in a defiant gesture of "now that I'm here – it's all mine".



from bendib

French Police Clear Migrant 'Jungle', Arrest 278

But Immigration Minister Eric Besson said action had to be taken against migrant trafficking rings. "What I want is to dismantle this 'jungle', which is the operating base for human traffickers," Besson told RTL radio.
Activists opposed the raid however. "It's a scandal," said Jean-Claude Lenoir of the Salam migrant support group. "We can't have soldiers fighting in Afghanistan and treat Afghans seeking refuge here with such little dignity."


Anti Corruption Songs by Slank
You know what I hate more than terrorism? Corruption! A Lot, a lot of corruption! Try to live in this country and you'll find them everywhere. Sometime I think I have no respect left for my own government. Indonesia regularly appears on lists of the most corrupt countries in the world, and in the most recent global corruption survey by Transparency International, Indonesia scored a 2.6, with 10 being the cleanest rating.

The situation looks grim now, since the KPK (The Corruption Eradication Commission)chairmen have been named as suspects by police.
Here's the update.

On going battle between KPK and the police
Q+A-Indonesia's corruption court bill

Korupsi membunuh bangsa...Corruption kills.


Photo from tbelfield.wordpress.com

Monday, September 21, 2009

Pictures of Us

Katanya a picture is worth a thousand words.
Aku suka menulis, suka membaca juga. Aku suka mengambil foto, tapi ngga suka difoto. Konon, mataku keliatan lebih sipit kalo di foto...Nah. I lied. Mataku memang dari sananya sipit, seperti itu --> ~_~
Tolong jangan ditinggal lari atau sembunyi kalo aku ketawa.

Anyway, these days were quite...errr...interesting. At least for me.
There were goods, there were bads. There were cools, there were hots. There were laughters, there were tears.
But my mind is blank tonight, so I'll just put some pictures instead.

One of a million things to keep your kids busy.


Damar dan Dimas mbantuin masang lemari baru

Lebaran cookies time! One of our fave time.

A beautiful mess.

Jadi pasang indovision lagi. Demi playhouse disney. Demi liga Inggris.


Dimas : "Ini apa, om?"
Si Om : "Ini kabel"



Rahasia kue enak : eces Dimas.


Mommie : "lagi ngapain, nak?"
Tole Dimas : "lagi motong ikan paus"



Blue and green. A perfect match.


A small hill behind our home. Setiap merasa capek atau galau cukup memandang kesana...

Foto yang diambil oleh Damar dari tempat kita shalat Eid.


Early morning of Eid this year


You can't see it, but there's a beautiful thin crescent moon in the sky


the final shade of sunset


Kegiatan malam lebaran. Nungguin ember penuh. Great. And after that, night exercise. Good for your biceps.


Lebaran with no water. Back to basic, nggotong ember keluar masuk rumah.


And that's a wrap.
Eid Mubarak, everyone! May God bless us always.

I can hardly open my eyes...so ready to sleep and dream about Jogja.
You can hide now.

Saturday, September 19, 2009

Eid Mubarak


picture from Jewssansfrontieres
Artikel yang ditulis setahun yang lalu. Another great post from Jews sans frontieres. A blog always worth to read.
Thank you, Nedster.


This marks only the second year since 9/11 that my hometown has lit up its remaining tallest building green for Eid.

Everyone remembers the CNN film of a few Palestinians dancing in E. Jerusalem on 9/11. I recall watching that & feeling more than a little irked, having just come from a candlelight vigil with the WTC smoldering in the background & spending part of the day standing on line to donate blood for the wounded -- who never materialized -- that anyone could find a reason to rejoice in the pointless destruction of my city.

Fifteen months later I traveled to Palestine for the first time. In January of '03, I witnessed the biggest single-day orgy of home demolition in the West Bank since the beginning of the occupation, in the village of Nazlat Issa. Nazlat Issa was a thriving commercial center in the northern West Bank that straddled the Green Line. At least 60 shops were destroyed by the IDF that day. After the major part of the destruction was done, I was coughing amidst the rubble, something easily set off since the weeks I'd spent breathing in the debris of 9/11, and that caught the attention of a local pharmacist. He advised me to drink water, and regretted he didn't have anything from his shop to give me, as it had just been flattened.

Quite all right, I assured him, and when I explained the origin of my cough, I got a very common reaction from him, the one most Palestinians expressed as soon as they'd find out I was from New York -- deep sadness for what my city had gone through. Now I was savvy enough not to have expected to find a troupe of 9-11 celebrants prancing about the West Bank, but I was still quite moved at this widely-expressed commiseration. After all, my co-religionists, many of them being settlers with Brooklyn accents, were busy ethnically cleansing these folks, and my country was financing it. But it really took the cake, this pharmacist standing in the rubble of everything he had, and there he was busying himself expressing effusive sorrow for MY loss & worrying about my cough.

Caked with mud as we all were, and wanting to get away from the dust and the terminator-like machines still ripping away at the remains of the buildings, the pharmacist took myself and two other US Jewish activists to his family's house. He was a superb host, even on such a lousy day, occasionally getting a bit sunken when he talked about how he didn't know how he was going to support his family or mused on what would become of his village. But he brightened up considerably when one of my compatriots surged off an overstuffed sofa and burst into a fabulous interpretation of a Shakira-style bump & grind while the chanteuse blared over Lebanese MTV. We merrily egged him on, clapping in unison, and the one female activist amongst us gamely attempted to ululate. The pharmacist's mother made me tea with an herb picked from their garden -- worked wonders on the throat.

So the picture above is in appreciation for that fellow -- I hope he & his family are doing well this Eid; him and all the other Palestinians who've plied me with their hospitality, wisdom, humor & forbearance in my too brief visits to their beleaguered & beautiful homeland.


Selamat Idul Fitri. Maaf lahir dan batin. May the peace and blessings of Allah be on each of you!
Eid Mubarak!

And Shana Tova ( good year) to our Jewish friends.

Thursday, September 17, 2009

Sabra dan Shatila

First thing I saw this morning, a reminder from Gabriel Ash. Thank you, Gabriel.
Remembering Sabra and Shatila.

Pertama membaca tentang Sabra Shatila di buku dr. Ang Swee Chai, From Beirut to Jerusalem. Simply heartbroken. Dan 27 tahun setelah tragedi itu, dan tidak ada yang berubah dari keangkuhan dan kekejaman Israel, aku mungkin mengerti kenapa rakyat Palestina bisa begitu membenci penjajahnya.
Indonesia berjuang selama ratusan tahun membebaskan diri dari penjajahan Belanda, jadi mengapa kita memandang rendah perjuangan bangsa Palestina? Mengapa kita menyebut mereka teroris?

"YOU take my water, burn my olive trees, destroy my house, take my job, steal my land, imprison my father, kill my mother , bomb my country, ... I am to blame: I shot a rocket back."
~ sabbah's haitham blog

Jadi ingatlah Sabra dan Shatila, 16 September 1982.

“Where was the sun when anger burst at Sabra and Shatila? Where was I? At what party, careless, when I red the news? And where were you – you so eager to defend the oppressed – when the massacre happened? Where is the pride of men? Where were you my friend with the sleeping conscience?”
~ Sabra Y Chatila, An argentinean song by Alberto Cortez

Sunday, September 13, 2009

Skygazing

Dini hari ini langit lumayan cerah, so I guess I'll stay awake till sun rises. Kepalaku yang dua hari ini dipenuhi pertanyaan to be or not to be, to do or not to do, rasanya perlu didinginkan.
Being an undecisive person, skygazing has always been a sweet escape to me...

A quick glance to the south.
Ada Fomalhaut, the Lonely Star. Atau Fum Al Hut yang artinya mouth of the fish. Salah satu dari dari empat penjaga surga menurut kepercayaan Persia kuno. Tiga koleganya yang lain adalah Aldebaran di Taurus, Antares di Scorpius, dan Regulus di Leo.
Ke arah kiri atas, Achernar. Akhir an Nahr atau River's End. Si Achernar adalah Alpha Eridani, bintang paling terang di rasinya, adalah akhir dari sungai mistik Eridanus, yang membentang dari kaki Orion di Utara sampai ke Selatan.


Formalhaut dan Achernar (dengan stellarium)

Masuk ke rumah dan keluar lewat pintu belakang, berdiri sendirian di backyard yang gelap menghadap ke northeastern sambil sedikit was-was ngelirik kanan kiri. Dalam hati berdoa semoga ngga ketemu tikus, ular, kecoak ataupun yang suka pake baju putih sambil melayang-layang...*glek!*
Damn, paranoid gara-gara kotak penghasil kuntilanak bernama tipi >.<

Ah, go away you scary thoughts! Shuh!

Sampai mana tadi?
O well, Up up in the sky, first we'll see the old moon, lagi bertamu ke Gemini ditemani oleh Pollux, Castor dan planet merah Mars. Di atasnya Aldebaran dapat terlihat jelas sebagai mata Taurus di Hyades, kepala Taurus yang berbentuk huruf V. Aldebaran atau Al Dabaran artinya adalah The Follower, karena Aldebaran selalu mengikuti Pleiades, bahu dari taurus sepanjang waktu. Pleiades atau the seven sisters, terlihat seperti konstelasi mini yang terdiri dari bintang-bintang yang umpek-umpekan, istilah jawanya. Si bintang tujuh ini disebut juga Kemukus oleh orang Jawa, karena bentuknya yang seperti asap. Berdesakan, dengan 6 bintang yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Mereka adalah Alcyone, Asterope (Sterope), Celaeno, Electra, Maia dan Taygete. Plus Merope yang ngga terlihat mata telanjang karena diisukan menikah dengan seorang mortal bernama Sisyphus.
Wew, kayaknya jaman dulu cerita macam inpoteinmen udah ada >.<

Gosip lengkapnya bisa dilihat di sini.


Orion, Taurus (Pleiades & Hyades), Gemini, Auriga, Canis Major dan Canis Minor, Moon and Mars (dengan stellarium)

Okeh, balik ke jalan yang benar.

Ke arah timurnya ada Orion sang pemburu, setia terlihat setiap malam. Rasi bintang ketiga yang kukenali setelah Scorpio dan 'tea pot' sagitarius di langit sore. Orion hanya akan terbit jika scorpio tenggelam. Letaknya pun berseberangan. Katanya, Orion takut akan bisa si Scorpio, musuh bebuyutannya.
Paling jelas dikenali dari dua bintang terang, Betelgeuse (arabic yad Al Jauza : the female on of the middle) dan Rigel (arabic Rijl : kaki), dan tiga bintang di sabuknya, Mintaka, Alnitak ( the belt) dan Alnilam (the string of pearls). Sementara bahu orion ditandai dengan Bellatrix.


Orion Sang Pemburu

Orion atau Lintang Waluku ditemani oleh dua anjing, Canis Major dengan Sirius dan Canis Minor dengan Procyon.
Lebih ke kiri, di langit utara, satu bintang terang bernama Capella di rasi Auriga.



Twingkle twingkle little star
how I wonder what you are...


Ah, Moon -- and Star!

Ah, Moon -- and Star!
You are very far --
But were no one
Farther than you --
Do you think I'd stop
For a Firmament --
Or a Cubit -- or so?

I could borrow a Bonnet
Of the Lark --
And a Chamois' Silver Boot --
And a stirrup of an Antelope --
And be with you -- Tonight!

But, Moon, and Star,
Though you're very far --
There is one -- farther than you --
He -- is more than a firmament -- from Me --
So I can never go!
~ Emily Dickinson


Finally, malam telah berakhir. Benang kusut di kepala belum juga terurai.

Wednesday, September 2, 2009

Malingsial and Malaysians

When so many people from both sides, Malaysia and Indonesia, show their immaturity and shortsightedness, here is a rapper who knows the difference between Malingsial/Indonsial and Malaysians/Indonesians.


Copy My Style Again ~ Saykoji

You copy my style
You copy again
Apa plagiat di negara lo lagi ngetrend?
Ku tetap sabar tetap kau kuanggap friend
But sooner or later i gotta take my stand

Udah bolak balik sampe balik kebolak
Temen gue sampe keselek pas makan kolak
Lagi lagi berulang ulang terus terjadi
Tetangga bikin ulah lagi bikin sakit hati

Suka ngaku ngaku kagak malu malu
Punya indonesia di klaim satu satu
Apa memang kalian yang gak mampu mampu
Buat budaya sendiri efek gak ampuh ampuh

Baca rambu rambu, bangsaku berbudi luhur
Tapi usik terus, reputasi mu masuk kubur
Jujur gue bangga jujur gue bersyukur
Elo ngaku ngaku berarti progress lo mundur

Panas ku bertutur kreasi bicara
Walau sudah jelas identitas ku dijarah
Joe farizal aja bisa minta maap
Masa yang lain kagak nyadar kagak tanggap


You copy my style
You copy again
Apa plagiat di negara lo lagi ngetrend?
Ku tetap sabar tetap kau kuanggap friend
But sooner or later i gotta take my stand

Bukan mo sok nasionalis sombong mengangkat alis
Bukan mo sok gangster bukan sok sadis
Walau lagi ngetop bukan gue sok ngartis
Tapi bales pake lagu paling praktis

Marah marah di internet, udah pasaran
Ngomel ngomel di pasar kagak sabaran
Kaya cacing kepanasan jenggot kebakaran
Rasanya gatel pengen ngasih tamparan

Tapi gue orang nya cinta damai
Walau rasanya sulit untuk santai
Amunisi di samping nyiur melambai
Pakai musik rap ku siap membantai

Memang satu rumpun masih sama melayu
Tapi melayu saykoji keras dan gak kemayu
Selendang rocker ku agak mendayu
Tapi coba ajak gue battle rap ayuk!!

You copy my style
You copy again
Apa plagiat di negara lo lagi ngetrend?
Ku tetap sabar tetap kau kuanggap friend
But sooner or later i gotta take my stand

Salute to Saykoji!

And hatemongers, Stop bashing around.
Your words show the world who you really are.

Stop talking about war!
You know who's going to inherit the world? Arms dealers. Because everyone else is too busy killing each other.
~Yuri Orlov, Lord of War

How to make the case for Israel and win

How to make the case for Israel and win (thanks to gabriel ash, again)

You need to understand just one principle:

The case for Israel is made of four propositions that should always be presented in the correct escalating order.

1.We rock
2.They suck
3.You suck
4.Everything sucks


Wait! One more thing :

5.Islam sucks

Wew. Should've tone down my sarcsm level this Ramadan.
-.-'