Friday, September 12, 2008

My Mom

Beberapa hari yang lalu aku ke tempat Eyang maryono, tetangga kompleks, yang berjualan lauk pauk selama bulan Ramadhan. Kebetulan sore itu pembelinya banyak sehingga suaminya harus ikut sibuk di dapur. Melihat mereka berdua ada sedikit haru di dalam hati. Aku teringat Mamah yang hanya berdua Mala di rumah.


My mom, Nurul Farida, was born and grew up as a country girl.
Mamah biasa berenang bolak-balik sungai mahakam di depan rumah nenek di Melak.
Punya banyak fans ketika SMA tapi akhirnya menikah dengan papah yang saat itu menjadi guru bantuan di SMA Melak. Their age differences was 12 years.


Setelah menikah mamah menjadi ibu rumah tangga sejati, menempatkan suami dan anak-anak di urutan pertama. Aku ingat melihat mamah memasak di dapur dan tak sabar untuk segera makan karena masakan mamah paling uenak sedunia!


Mamah juga yang mengajari cara menangkap kepiting kecil di selokan berair jernih di depan rumah kami. Yaitu dengan mengikatkan sesiung bawang putih pada seuntai benang.
Jalan Juanda, Samarinda, tahun 80-an masih sedikit penghuninya. Jika saat itu ada yang melintas di sebuah rumah di Jalan Juanda no 82 Samarinda, pasti ada seorang anak perempuan yang sedang duduk di pinggir selokan rumahnya sambil memegang benang. :)


Sepertinya dari mamah aku suka olahraga. Aku ingat sering menonton mamah bermain tenis dan voli di kantor kehutanan Samarinda. Dan kalau Mamah ada pertandingan persahabatan ke daerah aku pun tidak ketinggalan.


Ketika aku dan saudari-saudariku belum bisa membaca, mamah lah yang membacakan semua buku dan majalah itu untuk kami. Kemudian mengajari dan membantu mengerjakan pekerjaan rumah ketika kami mulai duduk di sekolah dasar.


Saat bulan puasa, aku sering duduk di belakang rumah membantu mamah menyuci piring sehabis sahur. Karena air PAM di Kalimantan dulu adalah hal yang mewah (bahkan sampai sekarang, lebih sering mati daripada mengalirnya), kami sering menyuci piring tidak di bawah keran tapi menggunakan air yang ditampung di ember di luar rumah.


Sambil mendengarkan suara azan atau ayat-ayat Quran dari surau di balik tembok belakang rumah aku akan mengobrol dengan mamah, atau cuma terdiam sambil mencari morning star alias bintang timur di langit sebelum subuh yang masih gelap.
At the moment i thought we'd live forever, i thought my parents would grow old together.


Mamah sepeninggal papah adalah mamah yang kuat.
Ya, dulu mamah selalu menangis, sama seperti aku yang menangis setiap hari selama hampir usia kandungan Damar (maaf ya, nak...)
Yang paling kuingat sampai sekarang adalah sehari setelah papah tidak ada. Mamah membuka kulkas dan melihat segelas makanan suplemen papah yang belum sempat diminum.


Tapi akhirnya semua harus berjalan sesuai kehendak-Nya...


Mamah yang sekarang adalah mamah yang mandiri. Sibuk dengan dagangan di warung yang dibuka di garasi rumah setahun setelah kepergian papah. Sibuk dengan tanaman-tanamannya. Terkadang sibuk dengan tetangga dan teman-temannya. Dan yang pasti selalu direpotkan oleh cucu-cucunya. Terutama anak-anak mbak Mima, karena dia bekerja di luar rumah sementara aku stay-at-home mom. Tapi Mamah tidak pernah memanjakan kami. Sebaliknya kami didorong untuk selalu mandiri dan apa-adanya, seperti apa yang papah selalu tekankan kepada anak-anaknya.
Mamah dan Papahku adalah busur yang ada dalam pikiran Kahlil Gibran.
"You are the bows from which your children as living arrows are sent forth"
Begitu ikhlas dan kuat.


Semoga aku bisa menjadi ibu sebaik Mamah....
Semoga aku bisa mengatakan pada diriku, hal yang dikatakan juga oleh penyair Lebanon itu.
"Your children are not your children. They are the sons and daughters of Life's longing for itself"

Hmmmmm.....^_^

Can't wait to see you next week, mom!
My mom, mamah paling hebat di seluruh jagad rayaku =)




mamah, mala, little damar dan little rakha

No comments: