Wednesday, February 11, 2009

Tilang atau Damai?

Temanku mengirim email tentang form merah dan biru dalam 'pertilangan'.
SLIP MERAH, berarti kita menyangkal kalau melanggar aturan Dan mau membela diri secara hukum (ikut sidang) di pengadilan setempat.
Itupun di pengadilan nanti masih banyak calo, antrian panjang, Dan oknum pengadilan yang melakukan pungutan liar berupa pembengkakan nilai tilai tilang. Kalau kita tidak mengikuti sidang, dokumen tilang dititipkan di kejaksaan setempat, disinipun banyak calo dan oknum kejaksaan yang melakukan pungutan liar berupa pembengkakan nilai
tilang.

SLIP BIRU, berarti kita mengakui kesalahan kita dan bersedia membayar denda.

Kita tinggal transfer dana via ATM ke nomer rekening tertentu (kalo gak salah norek Bank BUMN).

Sesudah itu kita tinggal bawa bukti transfer untuk di tukar dengan SIM/STNK kita di kapolsek terdekat dimana kita ditilang.
You know what!? Denda yang tercantum dalam KUHP Pengguna Jalan Raya tidak melebihi 50ribu! dan dananya RESMI MASUK KE KAS NEGARA.

One of the most corrupted institution in Indonesia is Police Force. While corruption in judicial institution is the most costly.

Tentu tidak semua polisi korup. Aku yakin masih banyak polisi-polisi jujur yang menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya dengan gaji yang mepet (God bless them...)
Seorang polisi muda yang menjadi ketua RT di kompleks perumahanku di Balikpapan dulu adalah seorang yang sederhana dan berdedikasi. Dia hanya memiliki sebuah motor tua dan rumah cicilan yang belum dikeramik lantainya. Seorang yang idealis dan rajin menjadi muadzin di mushola kecil di kompleks.

Pengalaman mengenai polisi lainnya waktu aku kuliah di Bandung, tahun 1998. Aku ditilang karena berbelok ke kiri sewaktu lampu merah menyala. Maklum kalau di Jogja hampir di semua perempatan kita bisa langsung belok kiri. Aku distop dan diajak ke pos. "Dik, ini sidangnya hari rabu jam 9 pagi ya!" Kujawab, "waduh Pak, hari itu saya ujian" Si Bapak Polisi akhirnya mengganti form tilangnya dan menyuruhku membayar ke bank dan mengambil SIM di kantor polisi.

The point is,
sebenarnya nggak salah polisi juga kalo mereka sering minta uang damai. Kalau ngga ada yang minta damai, kalau semua orang ngga pakai calo dan uang untuk bikin SIM dan keperluan lain, polisi juga ngga bisa korupsi.

Dengan sangat, sangat, sangat malu aku mengakui kalau SIMku sekarang masih SIM 'haram', SIM nembak. Sedang berusaha mengambil SIM 'halal', ASAP!
Dewo, sudah berhasil melewati semua ujian teori dan praktek dan sudah punya SIM halal. Butuh 3 kali ujian praktek mobil sampai dia lulus. Bandingkan dengan ujian SIM di Jepang!!! Ada yang ratusan kali ujian belum lulus juga.

Jadi, kalau ada yang ngeluh kenapa budaya berkendaraan di jalan umum kita ancur, ya mungkin karena memang kita ngga tau aturan lalu lintas (salah satunya ya aturan tentang form merah dan biru itu). Kenapa ngga tau? Ya, karena SIM-nya nembak!

As simple as that.

Coba liat di jalan tol. Hitung berapa mobil yang menggunakan lajur kiri untuk menyalip atau melewati batas kecepatan.

Believe me! At the end of the day, pendidikan dan faktor ekonomi rasanya berpengaruh kecil dalam masalah sopan-santun berkendaraan.

No comments: